KEKUATAN PUTUSAN PERADILAN ADAT DI ACEH
Abstract
Secara yuridis, penyelenggaraan peradilan adat telah didukung oleh sejumlah peraturan perundang-undangan. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan disebutkan secara tegas bahwa penguatan hukum adat dan keadilan adat harus dimulai dari Gampong dan Mukim. Penyelesaian sengketa di peradilan adat tidak menyebutkan peradilan adat tetapi langsung menyebutkan nama lembaga pemerintah seperti gampong dan mukim. Sehingga peradilan adat dilaksanakan secara tradisional di Gampong dan penyelesaian adat di Mukim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar hukum penyelesaian tindak pidana melalui peradilan adat di Aceh didasarkan pada peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, yang memberikan wewenang untuk membentuk Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Lembaga Adat. Hal ini diperkuat oleh Qanun Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Pemerintahan Gampong, yang mewajibkan penyelesaian masalah di gampong melalui peradilan adat. Peradilan ditingkat Gampong mempunyai kekuatan hukum berdasarkan yurisprudensi putusan Mahkamah Agung Nomor 1644 K/Pid/1988.
Keywords
Full Text:
PDFReferences
A. Buku
Abbas, Syahrizal. (2009). Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional. Depok: Kencana.
Amiruddin., Asikin. Z. (2006), Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Atmasasmita, R. (2000). Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. Burlian, P. (2015). Implemantasi Konsep Hukuman Qishas di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Din, M. (2009).Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional Dari Aceh Untuk Indonesia. Bandung: UNPAD PRESS.
Hamzah, A. (2002) Hukum Acara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, A. (1993). Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pratnya Paramita.
Hadikusuma, Hilman. (2014). Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar Maju.
Huda, C. (2006). Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggung jawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana.
Mahendra, Y, I. (2002). Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Depkeh HAM RI.
Mansur, T.M. (2017). Hukum Adat Perkembangan dan Pembaharuannya di Indonesia.
Banda Aceh: Bandar Publishing.
Mansari, M. (2017). Pelaksanaan Diversi Terhadap ABH Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Perlindungan Anak. Gender Equality: International Journal of Child and Gender Studies, 2(1), 51-62.
Mansari, M., & Devi, S. (2020). Penerapan Dwangsom Terhadap Biaya Pemeliharaan Anak Pascaperceraian di Mahkamah Syar’iyyah Sigli. Media Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial, 21(2), 147-161.
Sofyan, H., Ali, D., Suhaimi, S., & Mansari, M. (2020). Penolakan Permohonan Praperadilan Terhadap Penetapan Tersangka dan Penyitaan (Kajian Putusan Nomor 01/Pra. Pid/2016/PN-Mbo). Media Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial, 21(1), 73-89.
B. Jurnal
Muksalmina, M., Tasyukur, T., & Yustisi, N. (2023). DINAMIKA KEWENANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH SEBAGAI LEMBAGA LEGISLATIF DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA. Unes Journal of Swara Justisia, 7(2), 764-773.
Sofyan, S., Sulaiman, S., & Manfarisyah, M. (2022). PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR NELAYAN BERDASARKAN HUKUM ADAT LAOT DI KECAMATAN SEUNEUDDON KABUPATEN ACEH UTARA. Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh, 10(1), 139-163.
DOI: https://doi.org/10.29103/sjp.v11i2.6583
Article Metrics
Abstract Views : 230 timesPDF Downloaded : 241 times
Refbacks
- There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2023 Muksalmina
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.
PRINT ISSN: 1693-7074
ONLINE ISSN: 2715-5455
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.